Sunday, August 18, 2013

Ketidaksengajaan yang Berbuah Kenikmatan 1

Hari ini adalah hari pertamaku tinggal kembali di rumah kedua orangtuaku setelah memutuskan untuk bercerai dengan mantan suamiku setahun yang lalu. Namun, hari yang seharusnya menjadi waktu untuk menenangkan diri dari segala masalah yang akhir-akhir ini aku hadapi, menjadi hari yang tak terduga.

Oh ya, perkenalkan namaku Asih, umurku 32 tahun. Aku memiliki tinggi tubuh 165 cm, dengan kulit kuning langsat, payudara yang indah dan berukuran cukup besar. Orang bilang aku termasuk wanita yang beruntung, karena memiliki wajah yang cantik, dan tubuh yang masih aduhai seksi di usiaku saat ini. Dari pernikahanku terdahulu, aku belum dikaruniai anak.

Saat ini aku sedang pindahan ke rumah orangtuaku di suatu daerah sejuk di Kota B. Hari sudah beranjak sore ketika aku selesai merapikan barang-barang bawaanku. Kebetulan orangtuaku sedang pergi menghadiri resepsi pernikahan salah satu keluarga di luar kota dengan ditemani sopir pribadi keluarga. Jadi mungkin mereka akan menginap barang semalam di sana.
Kini aku hanya ditemani dengan tukang kebun dan pembantu saja. Pembantuku namanya Bik Inah, orangnya ramah dan sudah berumur, mungkin sudah menginjak 60 tahun. Meskipun beliau bekerja di rumah orangtuaku, tapi beliau setiap menjelang malam selalu pulang ke rumahnya yang terletak tak jauh dari rumah orangtuaku ini.

Tinggalah kini aku hanya bersama dengan tukang kebun keluarga kami, namanya Pak Mahfud. Orangnya sudah cukup berumur juga, mungkin sekitar 50 an umurnya. Beliau dulu bekerja sebagai buruh tani ketika keluargaku masih memiliki sawah,  ketika sawahnya dijual akhirnya beliau sekarang dipekerjakan sebagai tukang kebun. Beliau duda sudah 5 tahun, istrinya meninggal karena sakit, sedang kedua anaknya telah memiliki keluarga sendiri di suatu provinsi. Walaupun umurnya yang sudah lumayan sepuh, wajah beliau masih kelihatan segar, menampakkan sisa-sisa ketampanannya. Rambutnya cepak, dan sudah beruban di sana-sini. Kumisnya yang tebal menambah tegas aura kebapak-bapakannya, juga sudah banyak di selipi uban. Tubuhnya masih sangat bagus, mungkin berkat kerja keras sebagai petani dulu. Kulitnya sawo matang, dengan perut yang masih bagus, dan dada yang masih kekar dan kokoh serta ditumbuhi bulu lebat yang berbaris hingga selangkangannya. Kadang aku juga sering membayangkan hal-hal jorok ketika melihat beliau bekerja sambil telanjang dada. Tubuhnya yang bagus membuatku berdesir membayangkan bersetubuh dengannya, apalagi pentungan sakti yang tersembunyi di celananya yang selalu membuat penasaran.
Saat itu kira-kira jam 8 malam, tiba-tiba listrik mati. Akupun kaget dan ketakutan karena sedang menonton film horor di ruang tamu.

Aku panggili Pak Mahfud,
“Pak, Pak Mahfud, Bapak dimana? tolonggg bawakaan lampu senterrr!” Teriakku dengan sedikit panik.
Beliau tidak segera menjawab, akhirnya aku beranikan diri melangkah ke belakang, ke kamar beliau dengan bermodal nyala dari layar HP. Aku sangat terkejut melihat kejadian di depanku. Pak Mahfud kelihatan tidak sadarkan diri dengan tangan dan pinggang yang terikat dengan tali. Akupun segera mendekati beliau, sambil terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi.

“Pak, pak, bangun pak,” aku goncang-goncang tubuhnya dengan panik.
Tiba-tiba dari belakang ada bayangan dan langsung memukulku dengan keras dibagian tengkuk, akupun tidak ingat apa-apa setelah itu. Beberapa jam kemudian setelah aku bangun aku baru sadar bahwa yang memukul dan membuat aku dan tukang kebunku tak sadarkan diri adalah perampok. Kutaksir mungkin berjumlah dua orang, dari pembicaraan yang masih sempat kudengar setelah mereka memukulku. Mereka sengaja mematikan lampu untuk memuluskan aksinya. Akupun berharap mereka sudah pergi sekarang, karena situasinya kurasakan sangat sepi, dan lampunya telah kembali dinyalakan.

Arrrghh, sial aku mendapati tubuhku sekarang terikat berhadapan dengan Pak Mahfud. Kami terikat dengan seutas tali dan tangan belakang kamipun terikat. Bukan itu saja, para perampok itu rupanya mengikat tubuh Pak Mahfud ke salah satu tiang rumah. Jadilah kami sekarang terikat dengan tubuh berdiri, tak bisa berpindah kemanapun, meskipun kaki kami cukup bebas karena tidak terikat.

Aku segera membangunkan Pak Mahfud yang masih tidak sadarkan diri. Sekilas aku merasakan geli di bagian payudaraku yang malam itu hanya mengenakan daster tipis, tanpa memakai BH. Ternyata benar, kegelian itu disebabkan oleh bulu-bulu dada Pak Mahfud yang membelukar tanpa tertutupi. Rupanya beliau saat itu sedang telanjang dada, dan hanya mengenakan celana kolor.

Aduh, aku jadi serba salah, pikirku. Mau aku bangunkan tapi inilah saat yang langka pikirku. Namun, pikiran jernihku masih bekerja. Akhirnya aku membangunkan beliau. Namun usahaku dengan memanggil manggil namanya tak berhasil, dengan mengguncang-guncang tubuhkupun tak membuahkan hasil.

Akhirnya aku putuskan cara yang sedikit berbeda. Aku putuskan untuk sedikit memukul-mukulkan lututku agar mengenai benda yang berada di selangkangan beliau. Cara ini akhirnya berhasil, akhirnya beliau lambat laun sadar. Mungkin karena rasa nyeri di selangkangannya karena ku permainkan dengan lututku tadi.

“Haah, mbak asih kenapa kita terikat begini, apa yang terjadi..?” tanyanya dengan raut kebingungan. Akhirnya aku jelaskan semuanya kepada beliau.
“Jadi Pak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Mau ambil pisau untuk memotong tapi tidak bisa, tangan terikat, kita pun tidak bisa berpindah tempat..” Ucapku dengan setengah bingung.
“Anu mbak Asih, begini saja, Bapak punya ide..” Sambil matanya terus memandangiku dengan tatapan berbinar.
“Wah, bagus, apa pak?, cepat pak, yang penting kita bisa lepas dari tali ini”, Balasku dengan sedikit tergesa.
“Begini mbak, tali yang mengikat pinggang kita ini kan cuma satu tali, artinya tidak diikatkan kemana-mana selain pinggang kita berdua..” aku mengangguk pelan.
Beliau meneruskan, “jadi dengan sifat tali pramuka yang elastis ini kita bisa melepaskan ikatannya...” “Caranya bagaimana Pak?” Sambungku dengan cepat.
“Begini, caranya adalah dengan menggerak-gerakkan tubuh kita, agar ikatannya bisa sedikit longgar, dan talinya nanti lolos melewati pinggul, akhirnya bisa jatuh ke bawah. Bapak rasa dengan cara itu kita bisa lolos..”
“Wah, bagus Pak, mari kita coba..” Akupun segera menggoyang goyangkan tubuhku. Namun beliau langsung menyela. “Begini mbak asih, karena Bapak tidak bisa bergerak dan terkunci di tiang ini. Jadi mbak Asih lah yang harus mengoyangkan tubuh, ke atas dan ke bawah, hingga nantinya talinya sedikit demi sedikit dapat turun ke bawah”.
“Hmm, baik Pak, akan saya lakukan.” Dengan daster yang pendek sampai di atas lutut itupun aku semakin mudah menjejakkan kakiku ke lantai dan kemudian melompat ke atas.

Setelah lumayan lama, “Hah, huh, hah, aku capek Pak”, ucapku pada Pak Mahfud yang dari tadi hanya diam dan memperhatikanku dengan tatapan aneh.
“Isstirahat dulu Mbak, sudah agak renggang rasanya sekarang. Tubuh Bapak sudah mulai bisa bergerak..” ucap beliau dengan sedikit kaget dengan ucapan mendadakku tadi.

Aku jadi sadar, dengan tubuh yang berkeringat seperti ini membuat dasterku menjadi agak basah dan memperlihatkan bagian tubuhku yang tercetak cukup jelas dari luar. Apalagi dengan belahan dada rendah dengan keadaan daster yang sudah acak-acakan karena gerakan melonjak-lonjakku, Pak Mahfud menjadi lebih leluasa mengintip payudaraku, putingku pun tercetak dengan jelas, tegas menantang.

Pantas, pikirku, Pak Mahfud dari tadi hanya diam tak berkata dan seringkali menelan air liur. Rupanya beliau memperhatikan payudaraku ini dari tadi, huuh sialan, batinku. Aku tebak dengan hawa dingin yang mulai menyerang dan situasi berdempetan seperti ini, Pak Mahfud pun mulai membayangkan yang tidak-tidak. Akupun mulai lagi menaik turunkan tubuhku, agar bisa cepat cepat keluar dari situasi yang kurang mengenakkan ini. Tiba-tiba aku berhenti, dan merasakan sesuatu yang mengganjal dengan keras mengenai pahaku,

“Pak, bapak terangsang ya? Kok keras sekali di bawah sana?” Tanyaku dengan sedikit menghardik beliau.. “Mmmaaf mbak Asih, mmaaf sekali, Bapak tak kuat melihat aktivitas mbak asih yang naik turun, hingga membuat dada mbak berguncang naik turun mengenai puting susu Bapak..”
“Tapi pak, sekarang kan kita sedang dalam saat yang tidak tepat, kita harus segera melapaskan tali ini Pak..” sanggahku.

Benar saja ketika aku lihat, tubuhku sekarang begitu berkeringat, dan basah pada bagian dada, menyebabkan payudaraku sangat jelas tercetak, dengan puting susu yang begitu tegang. Memberikan ruang lebih lebar bagi Pak Mahfud untuk mengintipnya dari belahan dadaku.
“Mohon maaf mbak, Bapak diluar kendali, Bapak rasa ini sifat alamiah bagi seorang laki-laki normal seperti Bapak, ya meskipun sekarang Bapak sudah cukup berumur..” penjelasan beliau yang kelihatan jujur dan masuk akal itupun meredakan rasa dongkolku. Aku kembali berpikir bahwa beliau tidak salah, akulah yang sebenarnya salah telah memancing birahinya dengan memakai pakaian seperti ini, tidak pakai BH dan celana dalam lagi.

“Huuffffttt,” aku menghembuskan nafasku dengan sesak.
“Baiklah pak, tidak apa-apa, maafkan tadi sudah membentak Bapak.”
“Tidak apa-apa kok Mbak Asih, Bapak juga minta maaf tidak bisa menahan diri.” Jawabnya dengan pandangan yang merunduk dan sesekali menoleh pada belahan dadaku yang sudah keringetan ini. Tak ada pilihan lain, akupun harus meneruskan gerakan naik turunku, agar tali sialan ini segera lepas. Ahirnya talinya kini sedikit kendor, dan mungkin tidak beberapa lama lagi akan bisa lepas, pikirku. Namun tiba-tiba..

Astaga, tanpa aku sadari ternyata celana kolor Pak Mahfud telah melorot turun dan teronggok ke lantai. Mungkin karena terkena gerakan naik turunku tadi sehingga membuat celana beliau menjadi melorot hingga terlepas. Dan sekarang Pak Mahfud telah telanjang bulat di depanku.

Sempat kupandangi beliau yang juga tidak bisa berkata apapun kecuali hanya merunduk malu. Kini aku dan Pak Mahfud hanya terdiam mengamati apa yang sedang terjadi. Daster bawahku bagian depanpun tersingkap karena tertopang oleh pangkal penis Pak Mahfud yang telah sangat menegang ke arah atas. Dan kini kurasakan, karena tidak memakai celana dalam, mulut vaginaku sekarang telah bersentuhan langsung dengan ujung penis Pak Mahfud yang sedikit menyeruak ke dalam.

“Pakk..” bisikku lirih.
“Mbak Asih, maafkan bapak, jangan laporkan ini pada Bapak mbak Asih ya, Bapak takut di pecat..” Ucapnya dengan khawatir..
“Bapak tidak sengaja dan tidak bermaksud melakukannya..” Tambahnya.
Aku pikir beliau juga telah sama-sama merasakan, bahwa gerakan naik turun yang telah aku lakukan ternyata membuat penisnya kini menyentuh bibir kemaluanku, dan dengan sekali sentak, kemungkinan besar akan membuatnya masuk lebih dalam lagi..

“Pak, asih juga minta maaf, ini semua tidak sengaja, dan Asih tidak mungkin lah melaporkan Bapak karena kejadian kecelakaan seperti ini”, hiburku kepada beliau.
“Pakkk......” ucapku setengah berbisik..



Bersambung...

Pak Polisi yang Perkasa 2

Dengan malas aku bangun dari tempat tidur, aku melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah seharian capek melayani tamu resepsi pernikahan. Sambil membersihkan make up pengantin, aku mulai menyabuni seluruh tubuh seksi ku. Aku menyabuninya dengan teliti, setiap sudut, agar Pak Broto nantinya akan merasa puas dengan tubuhku yang wangi. Sambil menyabuni payudara dan kemaluanku, aku mulai merasa terangsang sendiri. Membayangkan bagaimana nantinya mulut pak Broto dengan kumis tebalnya itu mengulum, menggesek, dan menetek pada putingku yang berwarna coklat kemerahan ini. Bagaimana penisnya yang kokoh akan menembusi dan menyirami vaginaku yang masih sempit dan kering tidak tersirami selama dua tahun ini.

Akhirnya aku selesai mandi dan kemudian mengeringkan tubuhku. Aku keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kain batik yang ku kenakan saat resepsi tadi. Aku memakainya dengan melilitkan pada belahan dadaku. Memang kainnya tidak terlalu panjang, hanya menutupi dada hingga sampai pada atas lutut saja. Menampakkan payudaraku yang membusung dan pahaku yang kuning langsat. Karena tubuh yang belum mengering sempurna, puting susuku sangat jelas tercetak, dan sedikit basah di payudaraku bagian bawah.

Akupun melangkah menuju depan meja rias, menata rambutku, dan sedikit memakai wangi-wangian. Aku sangat kaget ketika aku sibuk membaluri tanganku dengan lotion, tiba-tiba sepasang tangan kokoh memeluk pinggang ku dan membelai perut rataku dari belakang.

“Sayangg, kamu cantik dan wangi sekali, tubuhmu yang indah ini sungguh menggoda, ndak salah aku menikahimu..” Desahnya dengan manja di kupingku.
Ternyata itu adalah Pak Broto, yang telah bangun tanpa aku sadari. Aku sangat tersanjung dengan puji pujian yang dilayangkannya.

“Ahh, Pak Broto, eh Mas Broto bisa sajaa..” jawabku dengan gugup. Beliau hanya tersenyum, menyaksikan aku yang kikuk sampai lupa menyebutnya dengan sapaan mas. Memang setelah menikah rasanya lebih nyaman dengan sebutan mas, meskipun beliau tak mempermasalahkannya.

Belum berhenti rasa kikukku, tangan beliau tiba-tiba berpindah menangkup kedua buah susuku yang menantang itu. Kurasakan putingku mulai mengeras karena rangsangan beliau di perut dan segala pujiannya tadi. Aku mendesah ketika jari-jarinya yang besar memijit putingku dari luar,

“aahhhhhhh, mas...” Beliau hanya diam sambil tersenyum. Aku yang sudah keenakan dan merem melek harus menahan diri. Beliau tidak jadi meneruskan permainnya, rupanya ia begitu ahli dalam mengendalikan nafsu perempuan, pikirku.

“Aku tak mandi dulu ya dik, biar segar, dan capekku hilang, nanti kita teruskan.” Ucapnya sambil mengecup pundakku dari belakang, beliau melangkah kekamar mandi.
“Hufftttt, kenikmatanku tertunda,” bathinku..

Sambil menunggu Mas Broto selesai mandi. Aku sempatkan untuk mengeringkan rambut yang masih sedikit basah karena mandi tadi, sambil melihat pekarangan rumah dari jendela kamar. Entah kenapa, pekarangan rumah ini begitu indah dan asri, membuat hatiku menjadi tenang. Sampai tiba-tiba Mas Broto telah di belakangku.

“Hayo, ngelamun ya?” Sambil tangannya memelukku dari belakang.

“Ahh, nggak kok mas,” jawabku sekenanya.
“Ayo kita mulai !”, ucapnya dengan antusias.
Beliau langsung menerkam susuku dengan kedua tangannya, diremasnya dengan perlahan, sambil bibirnya yang berkumis tebal mengulum kupingku. Akupun geli di buatnya. Tangannya kini tak lagi hanya meremas dengan perlahan, tapi di selingi dengan cubitan ketika menemukan putingku yang telah mengeras itu.

Tangan kirinya berpindah dan bergerilnya ke bawah, menyelusup dari belakang, dang bermain-main di belahan pantatku, sambil meremas-remasnya. Akupun hanya melenguh dibuatnya. Akupun tak mau kalah, dengan susah payah, tanganku yang tadinya memegang tangan Mas Broto yang meremasi payudaraku, berpindah kebelakang dan kutarik ikatan handuk yang dikenakannya. Jadilah beliau sekarang telanjang bulat di belakangku. Hingga kurasakan penisnya menyentuh tangan dan bokongku..

“Ahh, kamu udah ndak sabar ya?” tanpa menjawab, akupun langsung menggenggam penisnya itu dengan manja. Ternyata penisnya sudah sangat tegang. Ukurannya cukup besar dan panjang, tanganku agak kesulitan menggenggamnya.

 “Ahhhh, dik Marni.” Beliau meracau ketika ku sentuh lubang kencingnya. Karena terlalu asik bermain di belakang, aku tak sadar ternyata kembanku telah luruh sebagian, hanya tersangkut tangan beliau yang kini telah berpindah bermain di vaginaku. Payudaraku yang bergantung indah, dan menantang itu sekarang lebih leluasa untuk di remasnya. Jari-jarinya kadang berhenti untuk memilin dan menarik putingku. Menciptakan sensasi yang enak,

“Ahhhh, terusss masss”, desahanku lebih keras ketika jari tengahnya mulai menelusup masuk ke liang vagianaku, menggeseknya dengan perlahan. Aku merasakah vaginaku telah mulai basah dengan cairanku sendiri, aku sudah tidak cukup kuat berdiri dengan tegak. Tangan beliau yang kanan berpindah ke mulutku, memasukkan jari telunjuknya ke mulutku. Akupun paham dan langsung mengulumnya dengan manja.

Dengan jari yang basah oleh air liurku, beliau mempermainkan putingku dengan intens. Memencet, memilinnya, cukup lama beliau mempermainkan putingku seperti itu, bergantian yang kiri dan kanan. Beberapa saat kemudian beliau berindah ke depan, beliau memagut bibirku dengan lembut dan rakus, kumisnya yang tebal itu begitu menggelitik bibirku. Cumbuan beliau turun ke dadaku, mula-mula hanya dijilatinya saja, namun kini sudah di lahap, nampaknya Mas Broto berusaha melahap seluas-luasnya. Kadang giginya mengenai putingku yang sudah sangat mengeras. Membuatku tambah mengerang kenikmatan. Cukup lama Mas Broto bermain dan menyedoti payudaraku dan putingnya.

“Mmmmbb, payudaramu enak sekali sayang, kenyal.” Gumamnya sambil terus menyenyot puting susuku. Sesekali di gigitnya kecil-kecil putingku, dan dicupanginya payudaraku hingga menciptakan beberapa bekas kemerahan. Setelah cukup puas bermain di dadaku. Cumbuannya berpindah turun ke selangkanganku. Lidahnya dan kumisnya yang kasar itu begitu membuat kau melayang, hingga,

“maasssss, aku tak tahaaaaaaan laaagiii !” Akupun mencapai orgasmeku dengan dahsyat, orgasme yang tercapai tanpa penetrasi dari beliau. Hebat sekali Mas Broto, bathinku..

Akupun lemas tak berdaya, peganganku pada kusen jendela mulai tidak erat lagi. Mas Broto dengan paham langsung menangkap tubuh lemas ku yang telah terpuaskan dengan permainan jari dan mulutnya itu. Beliau kemudian membopongku ke tempat tidur dan merebahkanku di sana. Aku melihat beliau berdiri di samping tempat tidur, raut muka yang bahagia, dan kumisnya yang kembang kempis dan basah di beberapa bagian, mungkin terkena cairan cintaku tadi, pikirku.

Tubuhnya penuh keringat, membuatnya begitu menggairahkan. Penisnya kini masih belum tegak sempurna. Penis yang berukuran besar dengan panjang sedikit di atas rata-rata itupun seperti mengengangguk-ngangguk mendiami bulu kemaluannya yang tidak terlalu lebat. Dengan tenaga yang tersisa, akupun segera bangun dan menarik tubuh Mas Broto hingga terduduk di sampingku. Akupun segera mendorongnya hingga rebah di samping tempatku tadi.

“Sekarang giliranku Mas,” bathinku. Akupun segera menciumi bibirnya dan bermain-main dengan kumisnya yang menggemaskan itu. Lidah kami saling bertaut, kami berciuman dengan panasnya. Tanganku pun tak tinggal diam, sambil meraba dadanya yang liat dan mempermainkan puting susunya itu. Kini ciumanku berpindah ke dadanya yang berbulu lebat itu, aku jilati setiap bagian dada bidangnya itu, tak kulewatkan sedikitpun tubuh tegap dengan dada yang indah, berbulu, dan menggairahkannya. Sampailah akau pada puting susunya yang berwarna coklat muda, berdiri dengan kokohnya di bulu dadanya yang membelukar. Aku jilati dan aku emuti puting susunya, sambil sedikit menggigiti dan menarik-nariknya.

Rupanya beliau terangsang cukup hebat keperlakukan seperti itu. Kepalaku ditekannya sambil tangannya menyosongkan dadanya agar bisa lebih dalam akau mengenyotinya. Kini jilatanku terus berpindah ke bawah hingga ku temukan kejantanan beliau yang telah menantang. Penis beliau sesuai dengan tubuhnya, bersih, coklat kekuningan, dengan otot-otot yang sangat menonjol. Membuatnya menjadi sangat indah dan kokoh. Tanpa basa-basi lagi aku jilat lubang kencingnya. Beliau tersentak,

“aaaaaaaahhhhh”. Tangannya kini memegangi tanganku yang satunya yang dari tadi mempermainkan puting susunya tanpa bosan. Aku semakin giat dan semangat mengulum dan menjilati penis Mas Broto, sambil kusertai dengan menyedotnya sekuat tenaga agar beliau cepat keluar. Sesekali ku kulum sambil aku tarik kepala penisnya yang menyerupai jamur itu dengan rakus. Akhirnya tak salah, lenguhan Mas Broto semakin keras, tangannya kini memegangi dan menenggelamkan wajahku ke selangkangannya, membuatku menelan lebih jauh penisnya itu, meskipun tak sepenuhnya muat. Akhirnya muncratlah sperma Mas Broto ke mulutku,

“aahhh, sayanggggg, aku keluaaaarr...”


*****


“Minum dulu mas..”
Aku membawakannya teh manis sebelum meneruskan permainan kami yang begitu hebat tadi. Sambil beliau meminum tehnya, aku duduk di sampingnya menunggu, sambil tak bosan-bosan tanganku merangkul punggungnya yang kokoh, dan membelai dadanya yang bidang dan berbulu lebat itu serta mempermainkan putingnya.

“Ahh segarrrr,” ucapnya setelah menghabiskan segelas teh manis buatanku. Sambil beliau mengeluarkan ekspresi siap tempur, dengan kumis lebatnya yang mengembang. Akupun tertawa melihatnya. Tanpa basa-basi lagi beliau langsung merebahkanku, dan menindihku. Bibir kami berciuman dengan ganasnya, lidah kami saling melilit. Ciuman beliau turun ke payudaraku yang masih penuh dengan bekas air liur dan cupangannya tadi. Kumisnya yang tebal itu mencoba menggelitik dengan menggesek-gesekkan pada susuku. Mulutnya tak kuasa untuk membiarkan putingku terpampang begitu saja.

Dikulumnya putingku dengan gemas, sambil sekali-kali di sedotnya dengan kuat-kuat. Menimbulkan sensasi luar biasa ketika sedotan kuatnya itu beradu dengan rangsangan dari kumis lebatnya itu. Akhirnya beliau bangkit, memposisikan diri diantara selangkanganku, dibukanya kakiku untuk menciptakan ruang yang lebih luas. Kini penisnya telah tegang kembali, siap untuk menyetubuhiku, memberikan kepuasan seksual lebih jauh.

Pada mulanya beliau hanya menggesek-gesekkan ujung penisnya pada mulut vaginaku, “masss, masukkkinn, aku sudahhh tak tahannn,”
Ceracauku menahan nafsu yang sudah mencapai ubun-ubun.. Beliau hanya tersenyum menyaksikan aku begitu gelisah tak sabar menanti kan batang nya itu masuk ke dalam liang vaginaku. Akhirnya beliau memasukkan sedikit demi sedikit.

“Ahhh”, aku menggigit bibir bawahku sambil menahan sedikit rasa sakit. Mungkin karena telah cukup lama liang kenikmatan ini tak menerima tongkat pemuas, pikirku.
“Arrgghhh, punyamu sempit sekali dik”. Beliau berhenti sebentar untuk mengambil nafas, dan membiarkanku terbiasa dengan penisnya yang besar itu. Dengan penuh semangat, Mas Broto terus mengayunkan pantatnya ke depan, mendorong kejantanannya agar lebih masuk ke dalam.

“Ahhhh, desahnya, Begitu legit”, ceracaunya. Akhirnya penis Mas Broto benar-benar terbenam seutuhnya dalam liang kewanitaanku. Rasanya penuh sesak, dan begitu mengganjal di bawah sana. Beliau membiarkan penisnya terbenam sepenuhnya di dalam vaginaku, sambil tangannya meremasi payudaraku.

“Ahhh, dik, sempppit sekali vaginamu ini”. Beliau mulai mengayunkan pantatnya maju mundur, batang itupun mulai ke luar masuk liang kewanitaanku dengan lebih lancar sekarang. Semakin cepat, dan semakin cepat mas broto menggenjotku, bagai tak kenal lelah, kuat sekali stamina Mas Broto, pikirku. Aku hanya mendesah dan menjerit kecil sambil menggigit bantal. Staminaku pun rasanya seperti terkuras, di genjot habis-habisan oleh Mas Broto, tangannya yang kekar itu kini bertumpu di samping tubuhku, kadang meremasi susuku dengan gemasnya. Akupun tak tinggal diam, aku remasi dada Mas Broto, aku tarik-tarik putingnya, aku belai dadanya yang berbulu yang meneteskan keringat pada tubuhku dikarenakan genjotannya yang semakin keras.

“Massssss, aku keluarrr”. Aku berteriak tertahan, sambil tanganku merangkul lehernya. Hingga tubuhnya itu ambruk, lengket menimpa tubuhku.

Tubuh kami yang penuh dengan peluh pun berpelukan dengan eratnya. Dadanya yang berbulu begitu menggelitik ketika bergesekan dengan payudaraku. Orgasme kedua yang hebat telah aku alami, dan Mas Broto sepertinya belum apa-apa. Dengan sabar dan telaten beliau membiarkanku menikmati gelombang orgasmeku, mendiamkan posisi berpelukan kami. Sesaat setelah merasa telah cukup, Mas Broto bangkit dan menciumi ku, dari bibir, hingga payudara ku yang montok itu kembali di susunya. Setelah birahiku sedikit bangkit dan aku telah siap, Mas Broto merebahkan tubuhnya disampingku. Rupanya beliau begitu telaten, tidak egois dengan memaksakan pemuasan nafsunya, tapi dengan sabar menungguku hingga siap, dan birahiku timbul kembali.

Mas Broto mulai memasukkan penisnya dari arah samping, dengan aku yang masih rebah dengan telentang. Penisnya yang masih kokoh itupun menerobos vaginaku dengan sangat mulus karena melimpahnya cairan cinta yang baru aku keluarkan tadi. Beliau menempatkan kaki kananku di di atas pinggangnya. Tubuhnya sedikit miring dan mulai meggenjotku dari samping dengan perlahan, kemudian semakin cepat. Hanya desahan yang mengiringi sodokannya, aku hanya merintih kenikmatan sambil berpegangan pada tangan kekar beliau yang berpegangan lengan kiriku.

“Ahhh, enak maaas”. Kadang tangannya tak lagi berpegangan pada lenganku, tapi pada payudaraku, sambil meremas-remasnya. Kini Mas Broto mencabut penisnya yang mengkilat dan masih tegang itu, sambil memintaku berganti posisi merangkak. Dengan sigap Mas Broto menyodokkan penisnya dengan cepat, bahkan sangat cepat, hingga terdengar nyaring bunyi kecipak benturan antara buah zakar dan kulit pahaku. Juga benturan kulitnya dengan pantatku.

Terasa sekali penisnya masih keras, dan staminanya masih sangat kuat. Dengan cepat beliau mencabut penisnya, dan memposisikan diriku telentang. Beliau lalu menubrukku dan memasukkan penisnya dari arah depan. Mirip posisi yang pertama tadi, hanya saja kini tubuhnya sepenuhnya ambruk menimpa tubuhku. Tubuh kami lekat satu sama lain karena keringat yang cukup banyak. Mas Broto begitu cepat memompaku dengan tongkat kokohnya itu.

“Mas, aku mau saaampppaiii.” Aku meracau, berteriak tertahan.
“Bareng dikkk, aku juga mau keluarrrr..” Kurasakan penisnya mulai berkedut-kedut.
“Ahghhghh, dik, aku mau keluarrrr...” Dengan sodokan yang lebih cepat dan keras, penis Mas Broto seperti mencapai rahimku. Akupun meracau, mendesah dengan keras, merasakan orgasmeku akan datang lagi.

“Aghghghhg, aku keluaaaarrrr.” Keluarlah cairan orgasmeku yang ketiga kalinya bersamaan dengan orgasme dahsyat Mas Broto. Di tembakkannya air mani yang begitu banyak bebarengan dengan cairan cintaku. Membuat selangkanganku begitu becek, sampai-sampai meluber ke pantat dan mengenai lubang anusku.

Sungguh persetubuhan ini begitu membuat tubuhku begitu terasa capek. Namun aku sangat puas dengan permainan yang begitu hebat dari suamiku ini. Setelah orgasme hebat tadi, kami masih saling berpelukan, tanpa merubah posisi tubuh kami, dengan Mas Broto yang masih menindihku. Beliau akhirnya mencabut penisnya yang masih setengah ereksi dan menciumku dengan begitu hangat, dan merebahkan diri di sampingku.

“Ahhh, kamu hebat dik, vagianmu begitu keset, sempit..” puja-puji keluar dari mulutnya. Aku sekali lagi dibuatnya tersanjung. Tanpa menjawab, aku pun mencium bibirnya dengan begitu lama dan erat, menikmati kegelian oleh kumis lebatnya itu, sambil mengucapkan rasa terimakasih dan kebanggan atas Mas Broto di dekat telinganya. Beliau hanya tersenyum dan kemudian memelukku dengan erat. Aku rebahkan kepalaku di dadanya yang menggairahkan itu, sambil terus membelai bulu dan perutnya yang kokoh. Tak Lama ternyata aku tertidur. Aku sadar ketika Beliau membangunkanku untuk makan malam.

“Dik, ayo bangun dulu,” sambil membelai wajahku.
“Sudah jam 9 malam lho, kamu pasti lapar, ayo makan dulu,” sambil dikecupnya puting susuku dengan mesra.

Tak bisa dipungkiri, perutku memang sudah sangat lapar, sejak persetubuhan luar biasa berjam-jam yang baru aku alami dengan Mas Broto tadi. Kamipun makan bersama, karena begitu lapar, aku tak sempat memakai pakaianku kembali, membiarkan tubuhku telanjang bulat tanpai sehelai benangpun. Mas Broto hanya senyum-senyum genit memperhatikan aku makan dengan lahapnya dengan keadaan tubuh yang polos terbuka.


Bersambung..

Pak Polisi yang Perkasa 1

Perkenalkan, namaku Marni, umurku 28 tahun. Orang mengatakan aku adalah janda kembang, selain karena parasku yang cantik, tubuh seksi, juga karena aku belum dikaruniai anak dari pernikahan dengan suami ku terdahulu yang hanya berumur 1,5 tahun. Aku cerai ketika berumur 26 tahun, dikarenakan tidak tahan dengan perlakuan mantan suamiku yang kasar dan tidak perhatian. Tinggi tubuhku 168 cm, dengan ukuran buah dada yang serasi, dan bentuk yang masih sangat bagus serta kencang dan montok. Mungkin karena aku rutin olahraga tiap minggunya, juga pola makan yang sehat. Aku bekerja sebagai pengusaha kue di suatu kota di Jawa Timur. Kali ini akan aku ceritakan kisah yang tidak akan aku lupakan sepanjang hidup.


Langit semakin kelabu, mendung bergulung-gulung mulai memenuhi langit kota.

"Aku harus segera mencari tempat berteduh, pikirku.
Aku pacu motor maticku dengan tergesa sambil memperhatikan apabila ada tempat yang bisa dijadikan berteduh. Namun, sial bagiku, tak lama setelah itu hujan turun dengan lebatnya, membuat pakaianku basah tak tersisa. Dan tentu saja membuat pakaian dalam yang aku kenakan saat itu tercetak dan terlihat jelas dari luar. Hujan turun begitu derasnya, petir menyambar nyambar, tak mungkin aku meneruskan perjalanan. Walaupun dengan pakaian yang sudah basah kuyup, aku tetap memutuskan untuk berteduh. Akhirnya aku menemukan tempat juga.

Di emperan toko yang sudah tutup itu aku istirahatkan tubuhku dari terpaan air hujan. Tidak ada siapa-siapa di situ, sambil menunggu hujan reda, aku periksa kembali isi jok sepeda motorku, barangkali ada lap bersih yang bisa aku gunakan untuk handuk. Ahh, sial ternyata tidak ada satupun. Sambil meratapi hujan dalam kedinginan itu, aku dikagetkan oleh pengendara lain yang berteduh di tempat itu. Ternyata ia seorang polisi, tergambar dari seragam coklat yang ia kenakan. Mataku terus mengikuti laju motor yang ia gunakan, hingga terparkir dan dimatikan mesinnya oleh empunya.

Polisi tersebut segera melepas helmnya, orangnya sudah cukup berumur, tergambar dari beberapa uban yang terlihat di rambut cepaknya, kutaksir umurnya sekitar 40 an. Kumisnya tebal, dan di pipi dan janggutnya terdapat bekas cukuran brewok yang mulai tumbuh tipis. Tatapannya ramah, sekilas mirip satu tokoh polisi yang kerap aku lihat di televisi. Ahh, namun aku lupa siapa namanya. Orangnya berwibawa, mungkin karena tubuhnya yang tinggi besar dan ditambah kumis tebalnya itu.

Mbak, mbak. Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku. Ternyata bapak polisi itu telah berdiri di hadapanku.

Oh iya Pak, maaf-maafkan saya melamun.
Ikut berteduh juga ya mbak, saya tadi pulang kerja, kehujanan ditengah jalan, tidak sempat memakai mantel, katanya sambil mengelap air di tangannya.
Oh iya Pak, silahkan, saya juga berteduh kok di sini, tadi lupa tidak bawa mantel, hehehe,” Jawabku sekenanya.

Dari obrolan ngalor-ngidul kala menunggu hujan reda itulah aku mulai mengenal beliau, Namanya Pak Broto, umurnya sekitar 44 tahun, beliau bekerja sebagai polisi. Orangnya tinggi, mungkin sekitar 175 cm, badannya juga besar, masih bagus untuk orang seumuran beliau, ototnya tercetak pada bajunya yang basah saat itu. Perutnya sedang, tidak terlalu buncit. Tangannya berbulu lebat, semakin terlihat ketika terkena air hujan pada sore itu.

Wah hujannya deras dik Marni. Sejak tahu namaku, beliau memanggil dengan sapaan dik, biar lebih akrab katanya.
Iya nih pak, saya sudah hampir satu jam disini, tapi tidak reda-reda juga” Gerutuku. Obrolan kami semakin cair, dan sudah merembet pada hal-hal keluarga.

Dik Marni sudah menikah? Tanya beliau dengan sopan.
Sudah pak..” Jawabku.
Wah, sudah punya anak berapa?, sambungnya.
Belum punya pak, saya sudah keburu cerai dengan mantan suami saya,”jawabku sambil bercanda.
Beliau agak terkejut. Iya to? Wah..

Lha bapak sendiri bagaimana?, sambungku. Beliau diam, dan mulai menatap hujan yang tidak habis-habisnya itu.
Saya menikah pada saat umur 30 dik, dan sudah dikaruniai 1 putri, namun sayang. Putri saya meninggal saat masih kecil, istri saya pun menyusul 5 tahun setelahnya karena suatu penyakit, hmmmm
Maafkan saya ya Pak, segera aku putus singkapan duka masalalu itu.
Saya tidak bermaksud....
Ahh, tidak apa kok, santai saja dik.” Sambil wajahnya yang tampan, bersih, dan kebapakkan itu menoleh kearahku dengan bijaknya.

Akhirnya hujan mulai reda ketika hari sudah beranjak gelap. Ketika bersiap untuk pulang, Pak Broto menegurku.
Dik, mampir kerumah saya dulu yuk. Rumah dik Marni kan masih jauh, masak mau pulang dengan pakaian basah begini? Sambil tangannya memegang pundakku.
Ah tidak apa-apa kok pak, biar saya pulang saja, takut merepotkan Bapak nantinya.”
Ayolah, tidak ada siapa-siapa kok di rumah, pembantu saya juga sudah pulang sore begini. Bahaya lho naik motor dengan pakaian basah begini, bisa masuk angin. Nanti dik marni bisa pakai dulu baju almarhum istri saya.” Akhirnya saya mengiyakan juga, tidak enak menolak niat baik pak Broto.

Setelah perjalanan yang tidak terlalu jauh. Sampailah pada suatu rumah yang cukup besar, dan bagus, halamannya luas dan asri. Rumah ini terletak agak jauh dari rumah sekitarnya, mungkin masih tergolong rumah yang baru selesai di bangun. Teriakan Pak Broto dari garasinya membuyarkan lamunanku.

Ayo masuk, ndak usah sungkan-sungkan,” Ajaknya dengan penuh semangat.
Tanpa menjawabnya, aku segera memarkir kendaraanku di samping motor beliau. Beliau terus mengajakku memasuki rumahnya yang rapi dan bersih. Lampunya telah menyala terang, mungkin ulah pembantunya yang sudah pulang ke rumahnya sendiri. Tidak ada foto kenangan keluarganya di situ, mungkin Pak Broto tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan panjang.

Ayo dik silakan masuk,” sambil beliau membukakan pintu sebuah kamar, dan menyilakan aku masuk ke dalam.
Dulu ini adalah kamar saya dan alm. istri saya, tapi saya sudah pindah kamar. Silakan mandi dulu, dan pilih saja baju yang cocok, tidak usah sungkan ya.”
Beliau segera berlalu dan melangkah ke belakang. Mungkin mencari air minum ke dapur.

Aku segera masuk ke kamar itu, dan mulai membersihkan diri karena hujan yang deras mengguyur tadi sore. Setelah segar, aku memakai baju alm. istri Pak Broto yang ada di lemari itu. Tidak banyak baju yang tersisa, mungkin sudah diberikan oleh beliau ke orang lain. Akhirnya aku mengenakan daster yang tidak terlalu tebal sambil aku lapisi dengan jaket untuk menahan dinginnya malam itu, sambil menyembunyikan puting susuku yang tercetak dengan jelas. Aku memang tidak memakai BH dan celana dalam saat itu, apalagi jika bukan karena pakaian dalamku yang sudah basah karena hujan tadi sore. Hawa yang dingin itu semakin membuat tubuhku berdesir, puting susuku mengeras, hembusan angin pada selangkanganpun turut memberi kenikmatan tersendiri.

Aku segera terbangun dari pikiran mesum itu ketika aku dengar kecipak air timbul dengan derasnya dari kamar sebelah. Mungkin pak Broto yang sedang mandi, pikirku. Akhirnya aku keluar ke kamar tamu dan menyalakan TV untuk menghibur diri. Sementara di luar justru hujan turun lagi, dengan tidak kalah derasnya. Aduh, aku mulai bingung bagaimana cara pulang nanti.

Pikiranku buyar ketika pak Broto datang dan duduk di kursi depanku. Sambil metetakkan teh hangat beliau mengatakan,

Sudah nginep saja barang semalam disini. Lagi pula besok kan hari minggu to?, libur. Apalagi hujannya deras banget lo dik Marni, Saya ndak tega membiarkan dik Marni pulang dalam keadaan hujan begini.” Aku diam tak menjawab, hanya pikiran ini yang bingung memilih. Memilih nekat pulang apa menerima tawaran Pak Broto. Apalagi aku juga takut pulang malam-malam, hujan deras lagi. Akhirnya aku memutuskan,

Baik pak saya mohon izin nginap disini saja Pak, barang semalam, mohon maaf merepotkan bapak.”
Alah, tidak apa-apa kok, saya malah senang kalau ada yang menemani begini. Hahaha.”
Aku baru sadar, ternyata beliau datang tadi dengan telanjang dada, hanya mengenakan sarung yang sudah longgar ikatannya. Ketika beliau sedang asik menonton TV, aku beranikan memandangnya lagi. Benar dugaanku, ternyata dada Pak Broto juga berbulu lebat. Tergambar dari bulu-bulu ditangan nya yang lebat itu. Puting susunya berwarna coklat tua dan tampak kokoh di antara belukar bulu dadanya yang bagus itu. Bulunya ibarat barisan, dari rambutnya, kumisnya yang tebal dan kelihatan kasar, brewoknya, hingga menerus ke dadanya. Dan akhirnya menerus ke bawah melalui tengah tubuhnya, pusarnya, dan menghilang di balik lipatan sarung nya itu. Ahh, pikiranku semakin tidak karuan, apalagi sudah 2 tahun ini kebutuhan biologis ku tidak terpenuhi. Aku merasa gatal di vagina ku. Mungkin juga karena suasana yang bertambah dingin itu.

Dik Marni bisa mijit?, Pertanyaan Pak Broto membangunkan dari lamunan.
Bbbisa Pak?
Wah, mantep itu, ayo kita pijit-pijitan. Biar nggak masuk angin. Badan saya juga capek, kerja berat seminggu ini, sambungnya.

Akhirnya saya yang memijat Pak Broto dahulu, baru kemudian gantian beliau nantinya. Beliau menggelar karpet di depan TV sambil mengambil bantal dari dalam kamar.

Ayo dik Marni!
Baik Pak. Beliau rebahkan tubuhnya yang bersih berwarna kuning ke coklatan itu di karpet yang sudah di siapkan. Aku mulai mengurut bagian kakinya terlebih dahulu, sambil aku lumuri dengan minyak pijat. Benar dugaanku, kakinya juga berbulu lebat dan keriting. Pijatanku terus naik pada paha beliau. Aku lihat beliau sudah tertidur, mungkin karena kecapekan dan pijatanku yang memang nyaman. Tak sengaja sarung beliau tersingkap oleh tanganku. Betapa kagetnya aku, ternyata beliau tidak memakai celana dalam. Nampaknya belahan pantatnya yang seksi dan berbulu itu. Aku coba tahan pikiran ini agar tak macam-macam. Akhirnya aku selesai memijat bagian belakang dari tubuh liat dan kokoh Pak Broto.

Pak, bangun Pak, bagian depannya belum. Aku bangunkan beliau. Beliau mengubah posisinya menjadi telentang, tanpa sedikitpun membenahi posisi sarungnya. Akupun dapat melihat barisan bulu kemaluan yang menghilang di balik gulungan sarung yang sudah longgar itu. Sejatinya akupun merangsang melihat tubuh laki-laki gagah dan tampan didepanku itu, apalagi bulu dada dan putingnya yang begitu menggairahkan. Tubuhnya bagus, dan kencang. Buah dari latihan dan orahraga teratur pikirku. Akupun mulai penasaran tentang penis Pak Broto, namun aku tak berani meneruskannya. Aku masih menguasai pikiran jernihku.

Dalam keadaan selangkangan yang mulai basah karena terangsang mengamati tubuh Pak Broto. Aku berkonsentrasi memijat bagian depan tubuhnya itu. Aku mulai dari kepalanya, aku pijat pelan-pelan agar tidak membangunkan beliau. Sesekali aku mengagumi dan kuberanikan membelai kumis yang begitu tebal dan indah itu.

Pijatanku terus berpindah ke bawah, ke kedua tangan beliau yang kekar, dan sampailah di dadanya yang berbulu itu. Sambil memijat, aku bernaikan menekan dan memilin puting susu menggemaskan Pak Broto. Beliau tidak terbangun, hanya sesekali mengeluh keenakan. Aku segera berpindah ke bawah. Tak kusangka penis Pak Broto telah bangun, menantang dan membuat cetakan tegak pada sarungnya. Aku hanya berani memandangnya dan memijat bagian paha dan kakinya saja. Sambil sesekali mencuri pandang, dan memerkirakan seberapa besar dan panjang senjata milik Pak Polisi ini. Aku telah selesai dari pijatanku, sambil berlalu melangkah ke kamarku. Aku tidak enak membangunkan Pak Broto dan menagih janji pijatannya. Akhirnya aku tinggalkan beliau tertidur di kamar tamu. Sambil menyelimuti beliau karena udara yang amat dingin malam itu, aku matikan TV dan melangkah ke kamar yang telah dipersiapkan untukku untuk tidur.

Aku berusaha untuk tidur cepat malam itu, agar pikiran tentang Pak Broto itu tidak keterusan. Ahh, namun apa daya, tuntutan kehausan akan belaian laki-laki terus mendesakku untuk terus membayangkan Pak Broto, bahkan hingga dalam tidurku. Tentang sosoknya yang kebapak-bapak an, kumis tebalnya, bulu dadanya yang lebat, puting sususnya yang indah, tubuhnya yang bagus, liat, tidak terlalu kekar, sedang-sedang saja. Dan tentang penisnya yang terbayang dalam cetakan sarung itu.

Aku terbangun pagi itu dengan perasaan terkejut, selimut yang aku pakaikan untuk menutupi tubuh Pak Broto semalam kenapa menutupi tubuhku. Ketika aku membuka selimut, daster belahan dada rendah yang kupakai pun tersingkap hingga menampakkan salah satu payudaraku. Jangan-jangan semalam Pak Broto?
Pikiran macam-macam itu mulai merasuki pikiranku. Ataukah aku sendiri yang bermasturbasi hingga membuat ini semua terjadi?
Apakah Pak Broto melihat semua ini?
Deretan pertanyaan itu memenuhi pikiranku, hingga aku memutuskan untuk berganti pakaian dengan pakaianku sendiri yang sudah lumayan kering karena terpaan dari kipas angin semalaman.

Akupun bersiap untuk pamit pulang kepada beliau. Aku panggili Pak Broto, namun tak ada jawaban. Hingga aku melihat beliau sedang olahraga ringan di samping rumah. Dengan kaos basah yang diletakkannya di atas tanaman hias di pekarangan. Cukup lama aku mengamati tingkah polah beliau selama berolahraga itu. Tubuhnya berkilau keringat terkena terpaan matahari pagi, tubuhnya terlihat lebih menggairahkan dengan keringat yang membasahi tubuhnya itu. Bulu-bulu dadanya tampak lebih jelas, putingnya begitu menantang. Celana pendeknya pun sudah basah di beberapa bagian. Akhirnya beliau sadar aku memerhatikannya.

“Oh dik Marni, sudah bangun ya? Tadi saya baru lari pagi, mau ngajak dik Marni tapi masih tidur, ndak enak ngebangunin, haha.”
Sebenarnya aku ingin menanyakan perihal kondisi tubuhku semalam, apakah beliau melihat payudaraku yang tersingkap. Namun aku terlalu sungkan, aku putuskan untuk langsung pamit kepada beliau, dengan alasan ada pekerjaan yang harus segera ku selesaikan. Akhirnya aku pulang dari rumah beliau dengan perasaan yang campur aduk, antara sangat berterimakasih, hingga kagum atas kebaikan dan perhatian beliau.


*****


Selepas pertemuanku dengan Pak Polisi Broto tempo hari, sampai menginap di rumah beliau segala. Entah kenapa aku menjadi lebih sering bertemu dengan beliau. Baik itu karena alasan pekerjaan, yang beliau memesan kue untuk hadiah pernikahan koleganya, hingga aku yang kebetulan bertemu di jalan, atau beliau yang sengaja main ke rumahku. Karena seringnya bertemu, dan merasa banyak kenyamanan ketika bertemu. Akhirnya aku menerima lamaran Pak Broto untuk menjadi istrinya. Meskipun usia kami terpaut 10 tahun lebih, tapi kami saling mencintai. Dan aku sangat bersyukur dipertemukan dengan beliau. Dengan sifat kebapak-bapakannya, wibawanya, kelembutannya, dan kumis dan bulunya yang begitu terbayang setiap malam.


*****


Akhirnya, malam yang sama-sama kami nantikan itu datang juga, selepas capek melayani tamu-tamu undangan kamipun memutuskan untuk istirahat dulu sore harinya, menghimpun tenaga untuk malam yang istimewa pada malamnya.

Semenjak hari pernikahan aku tinggal di rumah suamiku yang baru, Pak Broto, hanya berdua dengannya. Aku terbangun dari tidurku, mendapati hari sudah mulai senja, sinar matahari yang teduh menerobos melewati jendela kamar kami. Disampingku masih tertidur Pak Broto, dengan mengenakan kaos singlet dan celana pendek. 


Bersambung...